CMV Pneumonia


Latar Belakang

Human Cytomegalovirus (HCMV) atau lebih sering disebut CMV merupakan golongan betaherpesvirus yang berperan signifikan dalam penyakit-penyakit yang berhubungan dengan penurunan kekebalan respon imun. Menurut Zhang dan Cannon et al CMV sudah menginfeksi 60-70% populasi di Amerika Serikat dan hampir 100% di sebagian wilayah Afrika.1,2

CMV dapat menginfeksi dengan spektrum penyakit tanpa gejala sama sekali, dalam bentuk fatal seperti penyakit sindrom kongenital CMV pada neonatus, hingga sindrom mononukleosis pada dewasa. CMV pada pasien imunokompromais dapat bermanifestasi dalam berbagai organ, seperti di paru, hati, ginjal, dan pasien resipien transplant sehingga menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pada era sebelum terapi preemptive, CMV merupakan penyebab utama mortalitas pasien post tranplantasi sumsum tulang belakang.3 Pada pasien dengan AIDS, CMV merupakan virus tersering penyebab infeksi oportunistik dan CMV retinitis merupakan penyakit infeksi utama penyebab kebutaan walaupun dalam era terapi highly-active antiretroviral (HAART).4

CMV akan menginfeksi secara laten setelah infeksi akut pada pejamu sebagaimana golongan herpesvirus lainnya. Diduga mekanisme infeksi laten terjadi pada sel-sel PMN, limfosit T, sel epitel ginjal, dan jaringan endotel vaskular dalam siklus non-replicating atau slowly replicating. Aktivasi CMV dari bentuk laten dapat disebabkan karena kondisi imunosupresi, atau penyakit kritis, atau pasien yang mendapat kemoterapi. Infeksi CMV muncul pada 10-35% pasien tranplant allogenik dan 1-6% transplant autologik, dengan bentuk CMV pneumonia sekitar sepertiganya. CMV pneumonia masih terjadi pada awal periode post-tranplant (0-100 hari), namun akhir-akhir ini meningkat sampai periode selanjutnya. Pasien yang lebih berisiko diantaranya riwayat reaktivasi dalam 3 bulan pertama post-transplant, pernah graft-versus-host-disease, dan limfopenia persisten, dan seropositif pasien yang menerima donor seronegatif.5

Pada referat ini akan dibahas secara umum mengenai patogenesis CMV pada berbagai organ sehingga bermanifestasi dengan gejala yang saling berhubungan, dan secara khusus akan dibahas mengenai diagnosis dan tatalaksana CMV pneumonia karena merupakan manifestasi paling sering dan paling tinggi mortalitasnya walaupun dengan pengobatan yang poten.6

Etiologi

Human CMV pertama kali ditemukan pada kelenjar saliva dan term “cytomegalovirus” digunakan untuk menggantikan istilah awalnya yang disebut salivary gland virus atau cytomegalic inclusion disease virus. Diduga karena kepadatan penduduk memudahkan penularan CMV melalui berbagai cairan tubuh. CMV dapat bertahan pada metal dan kayu selama 1 jam dan plastik dalam 3 jam, serta karet, plastik, dan kue kraker sampai 6 jam.7

CMV masuk dalam kelompok human herpesvirus yang memiliki ukuran terbesar dengan genom DNA yang linear dan double stranded dengan 250 ribu pasang basa yang mengkode 160 macam protein. Pada pemeriksaan mikroskop dapat ditemukan gambaran khas seperti gambar 1a dan 1b berupa monosit atau sel progenitor sumsum tulang yang mengandung badan inklusi intranuklear atau disebut Owl’s eye.8






Gambar 1 A. Struktur Human Cytomegalovirus, B. Biopsi jaringan paru yang diwarnai dengan hematoxylin dan eosin (diperbesar 250x). Dalam inset diperlihatkan adanya Owl's Eye inclusion.

CMV DNA terbungkus dalam inti nukleoprotein yang dilindungi matriks protein dan antigen pp65. Antigen ini yang berguna dalam diagnosis CMV karena dapat terdeteksi pada sel yang terinfeksi melalui imunofluoresence, imunoperoksidase dan metode deteksi antigen lainnya. CMV menginfeksi sel melalui endositosis. Genom akan denukleasi dalam sel dan protein DNA akan ditranportasikan ke dalam nukleus sel pejamu. Setelah sintesis dengan DNA virus polimerase, CMV akan bereplikasi dalam nukleus sel pejamu dan membentuk inklusi nukleus besar yang merupakan tanda khas infeksi CMV.9

CMV mengandung banyak genom yang mengkode protein-protein yang terlibat dalam downregulation sistem imun pejamu. Salah satunya yang paling penting adalah mencegah molekul seluler human leucocyte antigen-1 (HLA-1) untuk mencapai permukaan sel yang terinfeksi. HLA-1 dan glikoprotein tidak dapat membentuk kompleks yang dapat memicu pengenalan dan destruksi sel terinfeksi oleh sel sitotoksik limfosit CD8, sehingga CMV dapat bertahan dan terhindar dari destruksi.10 Inklusi intranuklear CMV ini dapat ditemukan pada sel-sel mononuklear dan neutrofil polimorfonuklear, namun dapat ditemukan pada sel-sel epitelial ginjal dan paru. Mekanisme laten pada sel-sel ini belum diketahui sepenuhnya namun adanya HLA-1 turut berkontribusi membuat virus ini tak terdeteksi sistem imun. Ketika terjadi imunosupresi melalui HIV atau obat imunosupresif, CMV ini akan tereaktivasi dan bereplikasi hingga titernya tinggi dan membuat end-organ disease.11

Patofisiologi

Patogenesis infeksi CMV yang utama adalah laten, yaitu adanya genom virus yang persisten dalam sel host tanpa ada bukti replikasi virus. Reaktivasi ini nanti berhubungan dengan kondisi imunosupresi, dimana paparan terhadap sitokin dan growth factors akan menghasilkan aktivasi sinyal transduksi, faktor transkripsi, dan produksi virus yang viable.8

CMV jarang menyebabkan end-organ disease pada kondisi imunokompeten. Jika terjadi defisiensi imun, terutama yang melibatkan limfosit CD4 dan CD8, virus laten akan bereplikasi dan menyebabkan efek langsung dan tak langsung. Efek langsung berupa penyakit akibat virus itu sendiri seperti necrotizing CMV retinitis dan esofagitis, sedangkan efek tak langsung terjadi pada CMV pneumonia berupa kerusakan jaringan yang perlahan dengan replikasi virus yang terbatas. Mekanisme patologis yang terjadi diduga akibat mediasi sistem imun, yakni terjadi upregulasi dan pengeluaran sitokin (TNF-α, interferon-γ, dan interleukin-2). Mediasi sistem imun juga dapat berupa efek langsung dari sitotoksik CD8 kepada sel yang terinfeksi CMV. Glikopretein pada envelope CMV yang berperan pada proses enrty virus yakni gB, gH/gL, dan gCII. Imunitas humoral akan menyerang gB ini dan mencegah masuknya virus, transmisi dari sel ke sel, dan mencegah pembentukan syncytium sel yang terinfeksi CMV.12

Pada pasien kritis yang imunokompeten, infeksi primer CMV bukan masalah yang besar. Namun seringnya kondisi kritis muncul reaktivasi dari infeksi primer sebelumnya. Reaktivasi dapat terjadi karena multifaktor. Aktivasi regio IE merupakan langkah penting untuk reaktivasi. IE enhancer sekuens mengandung nuclear factor kappa B (NF-kB) yang normalnya inaktif. Semua faktor atau sinyal inflamasi dapat mencetuskan reaktivasi, diantaranya sitokin proinflamasi (misal TNF-α), kemokin, molekul adhesi, dan faktor inflammasi lainnya yang diproduksi saat sepsis, luka bakar, operasi, trauma, gagal organ multipel, transfusi atau transplant sumsum tulang. Bila tercetus maka akan teraktivasi protein kinase C dan NF-kB dan terekspresikan gen IE sehingga terjadilah inisiasi siklus replikasi CMV. CMV juga dapat menginvasi sel endotel vaskular dan memicu ekspresi molekul adhesi. Molekul adhesi ini nakan bereaksi dengan trombosit dan leukosit sehingga terjadi hiperkoagulasi sehingga meningkatkan risiko komplikasi trombosis. CMV juga dapat mensupresi sel-sel progenitor hematopoietik sehingga menimbulkan pansitopenia.13

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis infeksi CMV dapat terjadi pada beberapa organ seperti meningoensefalitis, hepatitis, myocarditis, retinitis, enteritis, pneumonitis, dan menunjukkan CMV mampu menginfeksi berbagai tipe sel.8

Manifestasi CMV meningoencephalitis berupa kelemahan sensorik dan motorik seperti poliradikulopati. Keluhan dapat disertai nyeri kepala berat, fotofobia, letargi, dan gangguan piramidal. Cairan serebrospinal dapat mengandung limfosit dalam jumlah yang tidak sedikit., dan adanya CMV DNA pada CSF yang terdeteksi dengan PCR dapat membantu menegakkan diagnosis. Hepatitis biasanya terjadi pada imunokompeten dimana terjadi hepatosplenomegali tanpa adanya limfosit atipikal. Hepatitis granulomatous dapat juga menjadi tanda awal infeksi CMV yang disertai dengan mononukleosis. Pasien dapat mengalami demam, mual muntah, dan adanya limfosit atipikal. CMV hepatitis lebih dipertimbangkan apabila pada biopsi hati dapat ditemukan sel-sel mononuklear menginfiltrasi porta dengan granuloma sel besar di sekitarnya. Hepatitis akibat CMV biasanya akan sembuh total.14 Komplikasi CMV mononukleosis dapat pula berupa myocarditis. Keterlibatan kardiak jarang sekali dilaporkan dan biasanya ditemukan manifestasi lain seperti hepatitis dan ensefalitis.

CMV juga dapat muncul pada berbagai populasi pasien tertentu, yakni neonatal/kongenital, infeksi pada host yang imunokompeten, pada pasien dengan transplantasi dengan imunosupresi, dan pasien dengan HIV-AIDS: 

Infeksi Neonatal dan Kongenital


Infeksi kongenital terjadi pada 0.7% kelahiran bayi di negara maju, dengan klinis mikrosefali, kalsifikasi intraserebral, hepatosplenomegali dan rash. Sebagian besar akan bertahan namun 50% darinya akan menderita gangguan pendengaran, retardasi mental, atau keduanya. Ibu dari bayi yang menderita stigmata kongenital ini biasanya mengalami infeksi primer saat hamil, namun dapat juga ditemukan pada ibu dengan riwayat infeksi CMV sebelumnya.15 
 
Infeksi pada Imunokompeten

Infeksi pada imunokompeten biasanya asimtomatik. Pada beberapa individu dapat muncul sindrom mononucleosis dengan gejala demam, limfadenopati, dan limfositosis. Lebih dari 70% pasien dengan sindrom ini disebabkan karena Epstein-Barr virus dan 21% disebabkan karena infeksi primer CMV. Pada EBV lebih umum terjadi nyeri tenggorokan dan tonsil yang membesar dan terdapat eksudat di permukaannya. Pada CMV didapatkan gejala yang lebih sistemik seperti demam, dengan beberapa pembesaran KGB atau splenomegali.16 Keluhan seperti ikterus dengan hepatitis yang berat jarang didapatkan pada infeksi primer CMV. Walaupun infeksi primer CMV tidak menimbulkan gejala yang khas pada imunokompeten atau bahkan dapat sama sekali asimtomatik, apabila terjadi kondisi kritis CMV dapat mengalami reaktivasi dan memperpanjang hospitalisasi dan mortalitas yang tinggi.8

Infeksi pada Pasien Transplant

CMV sindrom berupa demam, neutropenia, hepatosplenomegali, dengan limfosit yang atipikal biasanya muncul pada CMV seronegatif resipien pasien transplant yang menerima organ dari CMV seronegatif donor. Gejala yang muncul juga dipengaruhi oleh organ yang di-transplant-kan, misal pada tranplant hepar apabila terjadi reaktivasi akan muncul demam dengan hiperbiulirubinemia dan peningkatan enzim liver bahkan sampai gagal hati yang memerlukan re-transplantasi. Namun pada pasien dengan CMV seropositif yang gejalanya muncul akibat reaktivasi, biasanya tidak lebih berat dibandingkan dengan gejala saat infeksi primer.

Infeksi pada Imunokompromais

Sebelum era HAART merupakan infeksi oportunistik utama pada pasien dengan HIV AIDS, dimana CMV retinitis dapat terjadi pada sepertiga penderita dengan CD4 dibawah 50 sel/mm3. Biasanya pasien mengalami penurunan visus, pandangan buram, dan floater yang progresif sampai kebutaan. Pemeriksaan retina akan ditemukan perdarahan dan eksudat seperti yang dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini.

Pada pasien HIV AIDS juga dapat ditemukan CMV kolitis dan esofagitis yang dikarakteristikan adanya ulserasi distal yang tunggal namun dalam. Keluhan esofagitis biasanya berupa nyeri dan sulit untuk menelan. Bila endoskopi dilakukan maka akan ditemukan ulkus yang jika diambil jaringan dan dilakukan pemeriksaan histopatologi akan didapatkan inklusi intranuklear atau PCR CMV positif dari jaringan biopsi tersebut. Keluhan kolitis biasanya berupa diare cair dalam jumlah banyak, disertai dengan demam, dan terkadang diare berdarah. Diagnosis dilakukan dengan sigmoidoskopi yang akan ditemukan plak pseudomembran, beberapa erosi, dan ulkus serpiginosa. CMV kolitis juga didiagnosis dengan histopatologis jaringan biopsi mukosa epitelium atau kripta ditemukan inklusi intranuklear.17

CMV neurologis dapat berupa ensefalitis dan poliradikulopati/sindrom mielitis. Sindrom ini dikarakteristikan adanya kelemahan ke arah kranial pada ekstremitas bawah dengan hilangnya refleks tendon dan hilangnya kontrol usus dan kandung kemih. Awalnya dapat berupa low back pain dengan penjalaran ke perianal diikutin flaccid paralisis.


Gambar 2 Cytomegalovirus (CMV) retinitis. A, tanda awal penyakit berupa keterlibatan dan pembuluh darah. B, kerusakan retina yang meluas dan perdarahan retina. C, CMV retinitis dengan papillitis


Dengan lumbal pungsi dapat ditemukan PMN, dengan protein sedikit meningkat, glukosa rendah dengan kultur bakteri negatif. Deteksi dengan PCR CMV pada cairan serebrospinal atau kultur virus.18 Namun dengan adanya HAART maka insiden terjadinya sindrom infeksi CMV ini berkurang jauh ≥95% walaupun masih muncul pada kasus pasien yang belum ARV, putus obat, atau pengobatannya tidak efektif.8,19 


Diagnosis

Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis CMV memerlukan pembiakan virus dari urin atau cairan tubuh lainnya atau ditemukannya antigen virus atau DNA-nya. Walaupun sampai saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas guna menegakkan diagnosis, untuk menentukan pasien terinfeksi CMV atau tidak, hampir selalu tergantung pada hasil laboratorium dibandingkan dengan penilaian klinis. Pemeriksaan sitologi dan histologi bukan merupakan pemeriksaan yang sensitif namun spesifik terhadap penyakit CMV. Salah satu pemeriksaan masa kini yang membantu mendiagnosis berupa deteksi langsung adanya antigen dalam netrofil dengan antibofi monoklonal yang melawan protein matriks CMV pp65.14 Dengan tes ini akan dihitung langsung adanya antigen CMV dari cairan serebrospinal dan dari darah perifer. Metode lain dapat dilakukan CMV DNA atau RNA dengan polymerase chain reaction (PCR). Metode ini yang sering digunakan untuk mendeteksi CMV DNA dalam jumlah yang sangat kecil sehingga sangat berguna untuk deteksi CMV pada berbagai macam cairan.20,21 Pada beberapa studi dipaparkan PCR CMV berguna untuk memprediksi terjangkitnya CMV retinitis di kemudian hari pada pasien dengan AIDS. Dengan terapi antiviral yang efektif, penggunaan PCR CMV di darah sebagai prediktor dan detektor infeksi CMV, akan mencegah terjadinya end-organ disease. Pendekatan terapi inilah yang disebut dengan preemptive therapy.

Serokonversi merupakan marker yang baik untuk deteksi infeksi primer CMV, namun peningkatan IgG 4x atau lebih bukan merupakan diagnostik untuk infeksi yang baru. IgG ini namun merupakan marker yang sensitif untuk infeksi yang sebelumnya dan untuk skrining pasien transplant. Antibodi IgM CMV akan meningkat pada infeksi primer namun bisa muncul lagi pada reaktivasi infeksi laten CMV.

Kultur virus merupakan baku emas untuk diagnosis CMV, membutuhkan setidaknya 4-6 minggu. Kultur dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan imunofluoresence yang dapat diketahui hasilnya dalam beberapa hari. Perlu dipertimbangkan pada pasien dengan imunosupresif, misal CMV mungkin didapatkan pada saliva dan urin pada hampir 60-90% pasien transplan resipien dan pasien dengan AIDS namun virus pada lokasi tersebut belum tentu membuktikan bahwa CMV merupakan penyebab utama penyakit pasien.8 Namun pemeriksaan CMV dengan menggunakan antigen, kultur, atau PCR tidak direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis CMV end-organ disease dikarenakan predictive value yang rendah. Plasma PCR negatif pun tidak dapat langsung menyingkirkan CMV end-organ disease. Lebih mudahnya dapat dilihat alur pendekatan diagnosis CMV dalam bagan di bawah ini:13



Bagan 1 Alur pendekatan diagnosis CMV


Tatalaksana

Terdapat berbagai modalitas terapi farmakologis pada infeksi CMV, yaitu valganciclovir, ganciclovir, foscarnet, cidofovir, dalam bentuk oral, intravena, atau injeksi ke intraokular. Ganciclovir diberikan secara intravena 5 mg/kg dua kali sehari pada 2-3 minggu pertama dilanjutkan dengan 5 mg/kg sekali sehari. Valganciclovir dapat mencapai kadar yang sama dengan ganciclovir 5 mg/kg dengan dosis 900 mg. CMV retinitis dapat diberikan injeksi intraokular, namun tetap perlu diberikan valganciclovir untuk terapi atau pencegahan end-organ disease ekstraokular. Pemberian ganciclovir atau valganciclovir berefek samping neutropenia, sehingga granulocyte CSF dapat dipertimbangkan untuk diberikan. Resistensi terhadap ganciclovir dapat terjadi pada mutasi gen fosforilasi UL97 dan atau gen DNA polimerase UL54. Apabila mutasi ini terjadi maka dapat diberikan obat lini kedua seperti foscarnet atau cidofovir.22

Foscarnet diberikan dengan dosis inisial 60 mg/kg intravena setiap 8 jam atau 90 mg/kg setiap 12 jam dengan dosis maintenance 90-120 mg/kg tiap hari. Efek samping dapat berupa gangguan ginjal, anemia, hipocalcemia, hipomagnesemia,d an hipofosfatemia. Namun oleh karena toksisitas dan tak ada regimen oral, foscarnet digunakan untuk terapi lini kedua apabila terdapat virus yang resisten ganciclovir.23 Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1 berikut:24

Tabel 1 Terapi Infeksi Cytomegalovirus


Cytomegalovirus Pneumonia


Pneumonia merupakan komplikasi yang paling sering dan paling meningkatkan mortalitas pasien-pasien yang dalam kondisi imunosupresi, seperti pasien dengan imunodefisiensi atau pasien transplantasi. Kondisi ini dipengaruhi oleh resipien, donor, serta derajat supresi imun.25 Walaupun infeksi CMV yang mengancam nyawa seperti pneumonia ini jarang muncul, masih dapat ditemukan sindrom mononukleosis, seperti malaise, demam, fungsi liver terganggu, dan limfositosis pada 10% infeksi primer CMV pada pasien imunokompeten.26 CMV dapat bermanifestasi dalam berbagai organ sehingga apabila ditemukan pasien dengan Inflammatory Bowel Disease (IBD) namun memiliki keluhan demam dan takipneu yang progresif maka patut dicurigai adanya CMV pneumonia, dan harus diberikan dengan segera.27

Pneumonia CMV didefinisikan dengan adanya manifestasi tanda dan gejala pneumonia dan terdeteksinya CMV dari paru.28 Secara klinis dapat ditemukan gejala batuk tak produktif, sesak napas dengan hipoksia. Demam tak selalu harus ada. Dari pemeriksaan fisis dapat ditemukan ronki yang jelas dan takipneu, namun bisa juga tidak ada pada awal gejala. Oleh karena itu diagnosis CMV pneumonia ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan CMV virus (CMV DNA dan antigen pp65) dalam jaringan biopsi paru atau darah perifer.6 Tindakan invasif seperti bronkoskopi untuk mengevaluasi bronkus dan untuk mengambil jaringan (biopsi dan bronchoalveolar lavage) juga dapat dilakukan.28 Berikut adalah salah satu contoh temuan lesi di bronkus pada pasien dengan CMV pneumonia.29


Gambar 3 Ulkus pada bronkus yang dilakukan pewarnaan Papanicolau stain menunjukkan adanya inklusi intranuklear

Gambaran radiologi yang paling khas didapatkan pada pasien dengan CMV pneumonia adalah infiltrat intertisial bilateral pada kedua lapang paru, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini:


Gambar 4 Gambaran bilateral intertisial pneumonitis pada infeksi cytomegalovirus pasien resipien transplantasi sumsum tulang

CT scan paru memiliki sensitivitas yang lebih baik dalam mendeteksi infiltrat pada CMV pneumonia. Pada CT akan ditemukan gambaran ground-glass bilateral yang asimetris dengan nodul-nodul kecil centrilobular seperti gambar di bawah ini. Namun CMV juga dapat muncul koinfeksi dengan penyakit lainnya sehingga penggunaan CT scan saja tidak dapat dijadikan acuan diagnosis.21,30



Gambar 5 CT scan pasien dengan CMV pneumonia

Setelah mengalami infeksi primer, CMV akan menghindari deteksi imun melalui beberapa mekanisme. CMV dapat laten dalam sel makrofag alveolar dan sel epitel paru, juga dapat ditemukan pada sel hematopoietik dan monosit perifer yang dapat reaktivasi dalam kondisi imunosupresi. Seberapa cepat replikasi berhubungan dengan derajat imunosupresi dan CMV pneumonia lebih sering muncul pada resipien dibandingkan populasi lainnya.6 CMV dapat menginfeksi paru dalam kondisi immunosupresif tanpa adanya gejala, namun dapat terjadi inflamasi dengan gejala berat dengan cepat apabila kondisi imun kembali baik.31

Pada pasien dengan imunokompromais sudah jelas ada tatalaksana namun untuk pasien dengan imunokompeten masih ada perdebatan. Tujuan terapi baik profilaksis maupun preemptive adalah untuk mencegah terjadinya end-organ disease. Prinsip terapi profilaksis adalah memberikan terapi sebagai langkah awal sedangkan preemptive dengan pemberian antiviral spesifik pada pasien yang risiko tinggi saat awal terdeteksi viremia untuk mencegah progresivitas ke end organ disease.32

Terapi CMV pneumonia pada prinsipnya sama dengan terapi pada CMV retinitis. Namun yang penting diperhatikan adalah diagnosis sedini mungkin pada pasien imunokompeten yang risiko tinggi (pasien kritis, dengan ventilasi mekanik, severe sepsis, atau transfusi darah berulang, risiko nasokomial tinggi) dikarenakan walaupun CMV dapat menyerang organ manapun, paru merupakan organ utama yang terlibat dengan mortalitas yang tinggi.13

Simpulan

Cytomegalovirus menginfeksi dengan berbagai macam spektrum dan multiorgan. Oleh karena tidak khas secara klinis, diagnosis CMV perlu data pendukung mulai dari klinis, laboratorium dan penunjang lainnya. Berbagai macam manifestasi klinis yang muncul terutama pada pasien yang imunokompromais perlu dicurigai akan adanya kemungkinan infeksi cytomegalovirus ini. Pada pasien imunokompeten, infeksi primer tidak jadi masalah namun apabila mengalami kondisi kritis maka kemungkinan reaktivasi akan tinggi dan berakibat fatal sehingga diperlukan diagnosis dini, timing dan modalitas terapi yang tepat.


Referensi


1. Zhang LJ, Hanff P, Rutherford C, Churchill WH, Crumpacker CS. Detection of human cytomegalovirus DNA, RNA, and antibody in normal donor blood. J Infect Dis. 1995;171(4):1002–6.

2. Cannon MJ, Schmid DS, Hyde TB. Review of cytomegalovirus seroprevalence and demographic characteristics associated with infection. Rev Med Virol. 2010;20(4):202–13.

3. Meyers JD, Flournoy N, Donnall Thomas E. Risk factors for cytomegalovirus infection after human marrow transplantation. J Infect Dis. 1986;153(3):478–88.

4. Masur H, Whitcup SM, Cartwright C, Polis M, Nussenblatt R. Advances in the management of AIDS-related cytomegalovirus retinitis. Ann Intern Med. 1996;125(2):126–36.

5. Boeckh M, Ljungman P. How we treat cytomegalovirus in hematopoietic cell transplant recipients. Blood. 2009;113(23):5711–9.

6. Ison MG, Fishman JA. Cytomegalovirus pneumonia in transplant recipients. Clin Chest Med. 2005;26(4):691–705.

7. Stowell JD, Forlin-Passoni D, Din E, Radford K, Brown D, White A, et al. Cytomegalovirus survival on common environmental surfaces: opportunities for viral transmission. J Infect Dis. 2011;205(2):211–4.

8. Drew WL. Goodman-Cecil. In: 25th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2016. p. 2230.

9. Fetterman GH. A new laboratory aid in the clinical diagnosis of inclusion disease of infancy. Am J Clin Pathol. 1952;22(5):424–5.

10. Beersma MF, Bijlmakers MJ, Ploegh HL. Human cytomegalovirus down-regulates HLA class I expression by reducing the stability of class IH chains. J Immunol. 1993;151(9):4455–64.

11. Plachter B, Sinzger C, Jahn G. Cell types involved in replication and distribution of human cytomegalovirus. Adv Virus Res. 1996;46:195–261.

12. Boeckh M, Geballe AP. Cytomegalovirus: pathogen, paradigm, and puzzle. J Clin Invest. 2011;121(5):1673.

13. Jain M, Duggal S, Chugh TD. Cytomegalovirus infection in non-immunosuppressed critically ill patients. J Infect Dev Ctries. 2011;5(8):571–9.

14. Crumpacker CS. Cytomegalovirus (CMV). Mand Douglas, Bennett’s Princ Pract Infect Dis [Internet]. 2016;(Cmv):1738–60.

15. Townsend CL, Forsgren M, Ahlfors K, Ivarsson S-A, Tookey PA, Peckham CS. Long-term outcomes of congenital cytomegalovirus infection in Sweden and the United Kingdom. Clin Infect Dis. 2013;56(9):1232–9.

16. Klemola E, von Essen R, Henle G, Henle W. Infectious-mononucleosis-like disease with negative heterophil agglutination test. Clinical features in relation to Epstein-Barr virus and cytomegalovirus antibodies. J Infect Dis. 1970;608–14.

17. Knapp AB, Horst DA, Eliopoulos G, Gramm HF, Gaber LW, Falchuk KR, et al. Widespread cytomegalovirus gastroenterocolitis in a patient with acquired immunodeficiency syndrome. Gastroenterology. 1983;85(6):1399–402.

18. Fox JD, Brink NS, Zuckerman MA, Neild P, Gazzard BG, Tedder RS, et al. Detection of herpesvirus DNA by nested polymerase chain reaction in cerebrospinal fluid of human immunodeficiency virus-infected persons with neurologic disease: a prospective evaluation. J Infect Dis. 1995;172(4):1087–90.

19. Prevention C for DC and, Health NI of, Association HIVM. Panel on Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents. Guidelines for the prevention and treatment of opportunistic infections in HIV-infected adults and adolescents; 2015.

20. Gerna G, Zipeto D, Parea M, Revello MG, Silini E, Percivalle E, et al. Monitoring of human cytomegalovirus infections and ganciclovir treatment in heart transplant recipients by determination of viremia, antigenemia, and DNAemia. J Infect Dis. 1991;164(3):488–98.

21. Travi G, Pergam SA. Cytomegalovirus pneumonia in hematopoietic stem cell recipients. J Intensive Care Med [Internet]. 2013;29(4):200–12.

22. Drew WL. Cytomegalovirus resistance testing: pitfalls and problems for the clinician. Clin Infect Dis. 2010;50(5):733–6.

23. Drew WL, Liu C. Repopulation of ganciclovir‐resistant cytomegalovirus by wild‐type virus. Clin Transplant. 2012;26(6):949–52.

24. Guidelines for the Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults. 2013;

25. Chang G-C, Wu C-L, Pan S-H, Yang T-Y, Chin C-S, Yang Y-C, et al. The diagnosis of pneumonia in renal transplant recipients using invasive and noninvasive procedures. CHEST J. 2004;125(2):541–7.

26. Grilli E, Galati V, Bordi L, Taglietti F, Petrosillo N. Cytomegalovirus pneumonia in immunocompetent host: Case report and literature review. J Clin Virol [Internet]. 2012;55(4):356–9.

27. Cascio A, Iaria C, Ruggeri P, Fries W. Cytomegalovirus pneumonia in patients with inflammatory bowel disease: A systematic review. Int J Infect Dis [Internet]. 2012;16(7):e474–9.

28. Ljungman P, Griffiths P, Paya C. Definitions of cytomegalovirus infection and disease in transplant recipients. Clin Infect Dis. 2002;34(8):1094–7.

29. Saraya T, Ohkuma K, Kikuchi K, Tamura M, Honda K, Yamada A, et al. Cytomegalovirus Pneumonia in a Patient with Interstitial Pneumonia and Nocardia asiatica Presenting as Cavitary Lung Lesions. Intern Med [Internet]. 2013;52(5):593–7.

30. Königshausen E, Hengel H, Adams O, Bry H, Steiner S, Priegnitz C, et al. Pulmonary cytomegalovirus replication in renal transplant patients with late onset pneumonitis. Ann Transplant. 2016;21:235–40.

31. Barry SM, Johnson MA, Janossy G. Cytopathology or immunopathology? The puzzle of cytomegalovirus pneumonitis revisited. Bone Marrow Transplant. 2000;26(6):591.

32. Griffiths PD. The 2001 Garrod lecture. The treatment of cytomegalovirus infection. Vol. 49, The Journal of antimicrobial chemotherapy. England; 2002. p. 243–53.