Hipoglikemia Pada Pasien Diabetes Tipe 2

Definisi

Hipoglikemia merupakan keadaan yang sering terjadi sebagai hasil penggunaan obat penyakit diabetes atau obat lain. Namun, beberapa penyakit lain, seperti gagal organ dan sepsis, defisiensi enzim, tumor, insulinoma, dan penyakit metabolik lain dapat menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa plasma kurang dari 45-50 mg/dL. Namun, perlu diketahui bahwa ambang glukosa untuk menginduksi gejala-gejala hipoglikemia dan respon fisiologisnya dapat bervariasi, tergantung dari keadaan klinis.

Untuk membuat diagnosis hipoglikemia, diperlukan beberapa kriteria yang dikenal dengan Whipple’s Triad:

  1. Gejala-gejala konsisten dengan hipoglikemia,
  2. Konsentrasi glukosa plasma rendah, dan
  3. Gejala-gejala membaik setelah glukosa plasma kembali naik.
Hipoglikemia dapat menyebabkan morbiditas dan menjadi letal jika sangat berat dan berkepanjangan. Kemungkinan hipoglikemia perlu dipertimbangkan pada pasien dengan gejala pusing, penurunan kesadaran, atau kejang.

Gejala dan Tanda

Gejala hipoglikemia dapat dibagi menjadi 2 kategori:

  1. Gejala neuroglikopenik, merupakan hasil langsung dari kurangnya glukosa pada sistem saraf pusat. Gejala dapat berupa perubahan sikap, bingung, letih, kejang, penurunan kesadaran, dan jika hipoglikemia berat dan berkepanjangan, dapat menyebabkan kematian.
  2. Gejala otonom, berupa palpitasi, tremor, dan kecemasan, serta gejala kolinergik seperti berkeringar, lapar, dan parestesia. 
Tanda-tanda umum hipoglikemia adalah pucat, denyut nadi dan tekanan darah sistolik meningkat, serta diaphoresis.

Etiologi

Hipoglikemia umumnya terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus yang sedang menjalani pengobatan. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan pada pasien dengan hipoglikemia adalah:

1. Obat: insulin, alkohol, salisilat dosis tinggi, sulfonamid, pentamidine, kuinin, quinolon.
2. Penyakit kritis: gagal hati, ginjal, atau jantung; sepsis; kelaparan
3. Defisiensi hormon: insufisiensi adrenal, hipopituitarisme
4. Insulinoma
5. Etiologi lain: tumor non-β cell, insulin atau insulin reseptor antibodi, defek enzim

Terapi

Pengobatan oral dengan tablet glukosa atau cairan yang mengandung glukosa, permen, atau makanan diperbolehkan jika pasien dapat menerimanya. Dosis glukosa yang dibutuhkan adalah 20 g. Jika gejala neuroglikopenia belum teratasi dengan terapi oral, maka terapi parenteral akan dibutuhkan. Glukosa intravena (25 g) harus diberikan dengan cara diencerkan 50% solusion diikuti dengan infus dekstrose 5 atau 10%. Jika terapi intravena tak dapat dilakukan, maka dapat dilakukan injeksi glukagon subkutan atau intramuskular. Karena dapat menstimulasi glikogenolisis, glukagon tidak efektif pada pasien dengan pasien dengan glikogen yang rendah (pada alcohol-induced hypoglycemia). Glukagon juga menstimulasi sekresi insulin dan kurang bermanfaat pada DM tipe 2. Pengobatan dengan meningkatkan konsentrasi glukosa plasma hanya sementara efeknya, dan pasien harus dibantu untuk makan segera mungkin untuk mengisi cadangan glikogen.

Pencegahan rekurensi hipoglikemia memerlukan pemahaman pada mekanisme hipoglikemia. Jika mekanisme penyebabnya obat maka dapat dihentikan atau dikurangi dosisnya. Bila penyakit kritis yang menyebabkan hipoglikemia maka perlu diatasi penyakit kritis tersebut. Terapi bedah, radioterapi, atau kemoterapi pada tumor dapat mengurangi hipoglikemia, walaupun tumor tak dapat disembuhkan. Tatalaksana pada hipoglikemia autoimun dapat lebih bermasalah, namun penyakit ini seringnya self-limited. Selain itu, asupan makanan dan pencegahan puasa perlu dilakukan.2

2.2 DIABETES MELLITUS

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan glukosa dengan dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya ( yang melakukan pemantauan pengendalian mutu secara teratur ).

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.

- jika keluhan khas, pemeriksaan gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk mendiagnosis DM
- Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM
- Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk mendiagnosis DM à diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral ( TTGO ) didapatkan kadar glukosa dasar pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl.3

2.3 HIPOGLIKEMIA PADA DIABETES MELLITUS

Seandainya saja tidak terjadi hipoglikemi, diabetes akan menjadi mudah untuk diatasi dengan pemberian insulin atau obat lain untuk menurunkan konsentrasi glukosa plasma menjadi atau di bawah normal. Tetapi karena regimen terapi insulin saat ini masih tidak sempurna, individu dengan diabetes tipe 1 memilki resiko mengalami hiperinsulinemia relatif yang mengakibatkan hipoglikemia. Pasien- pasien yang sedang manjalani terapi untuk menurunkan kadar glukosa dapat mengalami beberapa episode hipoglikemia simtomatik ataupun asimtomatik setiap minggunya. Glukosa plasma dapat mencapai 4

Hipoglikemia lebih jarang terjadi pada diabetes tipe 2 namun masih sering muncul pada pasien yang mengkonsumsi insulin atau sulfonylurea. Hipoglikemia ringan, sementara dapat ditemui pada pasien yang mengkonsumsi sulfonylurea kerja cepat dan repaglanide atau nateglanide, yang juga bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin. Pasien yang menggunakan sulfonylurea waktu kerja lama, chlorpropamide dan glyburide dapat mengalami episode hipoglikemia berat yang berlangsung 24 – 36 jam.

Sampai saat ini pemberian insulin masih belum sepenuhnya dapat dapat meniru pola sekresi insulin yang fisiologis. Makan akan meningkatkan kadar glukosa darah dalam beberapa menit dan mencapai puncak sesudah 1 jam. Bahkan insulin yang bekerjanya paling cepat bila diberikan subkutan belum mampu menirukan kecepatan peningkatan kadar puncak tersebut dan berakibat menghasilkan puncak konsentrasi insulin 1-2 jam sesudah disuntikkan. Oleh sebab itu waktu dimana risiko hipoglikemia paling tinggi adalah saat menjelang makan berikutnya dan malam hari. Hampir semua pasien yang mendapat terapi insulin dan sebagian besar pasien yang mendapat sulfonylurea pernah mengalami keadaan dimana kadar insulin di sirkulasi tetap tinggi sementara kadar glukosa darah sudah di bawah normal.

Faktor Risiko Konvensional

Kelebihan insulin merupakan determinan utama resiko hipoglikemia iatrogenik. Kelebihan insulin relatif atau absolute dapat terjadi jika:

1. Dosis insulin atau obat oral lain berlebih, atau salah jenis obat
2. Influx glukosa eksogen dikurangi, (co: puasa 24 jam atau jika telat makan)
3. Penggunaan glukosa yang tergantung insulin meningkat (co: saat olahraga)
4. Sensitifitas insulin meningkat (co: terapi insulin intensif, saat malam hari, setelah olahraga)
5. Produksi glukosa endogen berkurang (co: konsumsi alcohol)
6. Klirens insulin berkurang (co: pada gagal ginjal)

Hipoglikemia Terkait Kegagalan Autonomik

Defective glucose counterregulation

Respon hormone konterregulasi terganggu pada pasien dengan diabetes tipe 1 (tidak ada C-peptide). Seiring defisiensi insulin berkembang dalam beberapa bulan sampai tahun, kadar insulin di sirkulasi tidak dipengaruhi kadar glukosa dan fungsinya terganting konsumsi insulin. Oleh karena itu kadar insulin tidak berkurang saat kadar glukosa turun. Hal ini berarti pertahanan pertama terhadap hipoglikemia telah hilang. Dalam waktu yang sama, respon glukagon terhadap glukosa yang rendah melemah, pertahanan kedua teradap hipoglikemia gagal. Penyebab produksi glukagon defek oleh sel α pancreas masih belum diketahui, namun berhubungan dengan hilangnya produksi insulin oleh sel β. Hal ini merupakan abnormalitas fungsional, bukan merupakan akibat kekurangan glucagon. Respon pertahanan ketiga terhadap hipoglikemia berkurang ketika respon epinephrine terhadap hipoglikemia berkurang.

Berbeda dengan hilangnya respon glukagon, respon epinephrine terhadap hipoglikemia merupakan abnormalitas ambang batas. Respon epinephrine masih dapat dipicu, namun perlu konsentrasi glukosa plasma yang lebih rendah lagi. Pergeseran ambang batas iti disebabkan oleh hipoglikemia yang mendahuluinya. Berkembangnya penurunan respon epinephrine merupakan kejadian patofisiologis yang krusial. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan kombinasi kekurangan glucagon dan epinephrine menderita hipoglikemia berat, 25 kali lebih berat dari pasien dengan kekurangan glucagon namun respon epinephrine masih baik.

Hypoglycemia Unawareness

Hypoglycemia unawareness merupakan suatu keadaan saat individu tersebut kehilangan gejala peringatan adanya hipoglikemia dan mendesak mereka untuk makan sehingga mencegah hipoglikemia. Pada keadaan ini, manifestasi pertama hipoglikemia adalah neuroglikopenia. Penelitian menunjukkan, seperti defective glucose counterregulation, keberadaan hipoglicemia unawareness berkaitan dengan tingginya frekuensi hipoglikemia berat.

Faktor- faktor yang berperan dalam kegagalan autonomic pada diabetes tipe 1 dan hypoglycemia unawareness saling memengaruhi. Periode kelebihan insulin relatif maupun absolute akibat tidak adanya respon glucagon menyebabkan hipoglikemia iatrogenic. Episode ini dapat mengurangi respons autonomic sehinga mengakibatkan konsentrasi glukosa. Gangguan respon autonomic ini mengakibatkan berkurangnya gejala hipoglikemia karena respon epinephrine berkurang akibat tidak ada respon glucagon.

Hal di atas membuat siklus rekurensi hipoglikemia dan saling menguatkan. Sindrom hypoglycemia unawareness dan berkurangnya komponen epinephrine dapat reversible namun memerlukan kondisi tanpat hipoglikemia selama 2 minggu. Hal ini melibatkan pergeseran ambang batas glikemik kembali ke konsentrasi glukosa plasma yang lebih tinggi. Beberapa obat, misalnya beta blocker dapat memengaruhi pengenalan hipoglikemia dan mengganggu glikogenolisis, oleh karena itu motoprolol dan atenolol (selective β-1 antagonis) lebih dipilih jika memang diindikasikan beta blocker.


DAFTAR PUSTAKA

  • Waspadji S. Kegawatan pada diabetes melitus. Dalam: Prosiding simposium: penatalaksanaan kedaruratan di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000. hal.83-4.
  • Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci, Stephen Hauser, Dan Longo, J. Larry Jameson. Harrison's principles of internal medicine. 16th Edition. McGraw-Hill Professional; 2004. p.2233-4
  • Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2007. Jilid III. Edisi IV. Departemen Imu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. hal. 1838
  • Cryer PE. Hypoglycemia dalam Braunwald, dkk. Harrison’s principles of internal medicine ed 16. New York: McGraw-Hill. 2005. Hlm 2180-5
  • Soemadji DW. Hipoglikemia iatrogenic dalam Sudoyo AW, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 4. Jakarta: Departemen Imu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia..hlm 1870-3