Varicella Zoster


Etiologi


Varicella atau chickenpox merupakan penyakit yang disebabkan oleh Varicella zoster virus (VZV). Virus ini merupakan family Herpesviridae (Alphaherpesvirus, yang memiliki double-stranded DNA. Virus ini hanya menginfeksi manusia dengan target sel limfosit T, sel epitel, dan sel ganglia. VZV memiliki struktur seperti virus herpes lainnya, terdapat struktur icosahedral simetris dengan diameter 180-200 nm, terdiri dari double-stranded DNA, nukleocapsid, tegument, envelope, dan glikoprotein (Gambar 1).1


Gambar  1 Struktur Skematik Varicella zoster virus

VZV memiliki 2 mekanisme infeksi yang berbeda, dimana terdapat infeksi primer, yaitu infeksi yang pertama kali biasanya pada masa anak-anak, dengan gejala varicella (cacar air), sedangkan infeksi reaktivasi akan muncul berupa herpes zoster, biasanya pada masa usia lebih dari 60 tahun. VZV yang menginfeksi sel pejamu akan membentuk badan inklusi intranuklear eosinofilik, atau sel besar yang memiliki inti multipel (multinucleated giant cell).1 Berikut adalah gambaran patologis VZV diambil dari jaringan vesikel (Gambar 2 dan 3).2


Epidemiologi


Varicella menginfeksi sekitar 13-16 orang per 1000 orang per tahun dengan variasi berbeda setiap tahunnya. Hal ini dipengaruhi kondisi cuaca dimana VZV mudah menular terutama saat peralihan musim dingin ke musim semi. Populasi yang paling sering terjangkit adalah anak-anak usia sekolah, yakni sekitar 100 per 1000 oang per tahun. Sedangkan bagi orang dewasa antara 5-10%. Uniknya, pada negara tropis umumnya VZV menginfeksi rerata usia lebih dewasa, yakni usia 14.5 tahun.1
Infeksi VZV terjadi dalam hari 14-17, dimana sangat infeksius mulai dari 48 jam pertama sebelum onset rash vesikuler sampai semua vesikel mengering, yakni 4-5 hari. Kemampuan menular, terlebih pada seronegatif, mencapai 90% dan menyebar melalui airborne atau dari vesikel di kulit. Secara global VZV dapat menyebabkan angka hospitalisasi 5 dari 1000 orang dengan 2-3 per 100.000 orang meninggal.3

Gambar  2 Potongan melintang lesi vesikel infeksi VZV

Gambar  3 Multinucleated cell dengan inklusi intranuklear

Lain halnya dengan kondisi imunokompromais, seperti pasien imunodefisiensi, pasca kemoterapi, atau pasien transplantasi sumsum tulang/organ, memiliki risiko komplikasi dan kematian yang lebih tinggi. Oleh karena itu pasien dengan kondisi ini perlu perhatian khusus. Untuk pasien wanita hamil yang terinfeksi VZV dan sedang dalam 2 trimester awal maka berisiko tinggi menderita cacat janin hinggal 1%. Pasien VZV yang sudah mengalami peerbaikan dapat mengalami komplikasi varicella yang mengalami reaktivasi. Data dari beberapa negara maju, VZV yang tereaktivasi dapat menyebabkan post herpetic neuralgia yang dapat dialami oleh lebih dari 10 orang per 1000 pasien usia 60 tahun ke atas.4

Patofisiologi


Varicella menginfeksi manusia melalui infeksi primer dan reaktivasi. Infeksi primer dimulai dari masuknya virus melalui rute respirasi (menempel di nasofaring) lalu masuk ke sistem limfatik. Dari limfe dapat menyebar masuk ke seluruh tubuh dan terjadi viremia lalu masuk ke kutaneus. Pada jaringan kulit virus menimbulkan inflamasi dan terjadi degenerasi jaringan dermal (balooning) membentuk multinucleted giant cell. Setelah muncul vesikel multipel meliputi badan kepala dan seluruh tubuh. Dalam vesikel terjadi rekruitmen sel-sel polimorfonuklear dan sel inflamasi lainnya, terjadi degenerasi dan pembentukan jaringan vibrin. Proses ini membuat penampakan vesikel mengeruh dan mulai terjadi ruptur.3
Fase reaktivasi disebabkan karena infeksi laten VZV yang dipicu oleh lemahnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi laten terjadi pada dorsal root ganglia, enteric dan autonomic ganglia. Secara patologi apabila terjadi reaktivasi akan terlihat adanya perdarahan, edema, dan infiltrasi limfositik pada daerah laten tersebut. Infeksi VZV dengan menifestasi utama ke kulit namun  bisa laten ke neuron masih belum jelas. Namun dapat ditemukan protein VZV pada neuron dan terjadi ganglionitis serta infiltrasi sel CD4 dan CD8. Khusus pada kondisi imunokompromais didapatkan komplikasi sampai melibatkan paru (penumonitis), atau otak (ensefalitis).5–7

Manifestasi Klinis


Pasien yang terinfeksi VZV akan mengalami gejala prodromal sindrom pada hari pertama dan kedua sebelum onset exanthem. Pasien akan mengalami rash, demam derajat rendah, malaise. Lesi pertama kali muncul biasanya di badan, wajah lalu menjalar ke seluruh tubuh. Lesi kulit awalnya berupa makulopapular, lalu menjadi vesikel dalam waktu hitungan jam sampai hari dan akhirnya menjadi scabs (krusta). Lesi makukopapular eritematosa atau vesikel juga dapat ditemukan pada mukosa faring dan vagina.
Vesikel pada anak lebih sedikit dibandingkan dewasa. Manifestasi pada penularan sekunder dan tersier didapatkan gambaran vesikel yang relatif semakin banyak dibandingkan manifestasi primer. Pada pasien dengan imunokompromais didapatkan komplikasi 30-50% kasus hingga fatal pada 15% kasus saat tidak mendapatkan antiviral. Komplikasi dapat berupa superinfeksi bakteri sekunder pada kulit oleh infeksi Streptokokus pyogenes atau Staphylococcus aureus. Untuk memastikan diagnosis superinfeksi tersebut dapat dilakukan Gram staining.  Manifestasi vesikel dan krusta dapat dilihat pada gambar 4 dan 5.3


Gambar  4 Lesi vesikel (sisi atas) dan Crusted (sisi bawah pada varicella)

Komplikasi ekstrakutan lainnya yaitu terjadi inflamasi meningeal yang umumnya terjadi pada hari ke 21 setelah onset rash. Kejadian ensefalitis pada infeksi VZV mencapai 0.1-0.2%. Komplikasi lainnya yang paling sering menyerang dewasa dan usia lanjut adalah Post Herpetic Neuralgia (PHN). PHN muncul dengan manifestasi awal berupa nyeri yang sangat menyakitkan, debilitating, dengan lesi muncul berupa shingles sesuai dermatom (unilateral). Onset nyeri biasanya muncul sejak 48-72 jam sebelum atau saat lesi muncul. Bentuk awal seperti makulopapula eritematosa, lalu menjadi vesikel namun dalam waktu yang sangat cepat. PHN dengan nyeri berdurasi hingga 10 hari dan kulit baru dapat kembali normal setelah 4 minggu.
PHN pada kondisi imunokompromais dapat menyebabkan komplikasi sistemik berupa pneumonitis, me ningoensefalitis, dan hepatitis namun umumnya jarang fatal. Pada kondisi ini dapat dipertimbangkan pemberian acyclovir pencegahan terutama pada kasus imunokompromasi pasien limfoma yang menjalani kemoterapi. Lesi zoster pada PNH dapat dilihat pada gambar 6 di bawah ini:3

Gambar  5 Zoster pada ODHA, sesuai gambaran dermatomal

Diagnosis


Untuk mendiagnosis infeksi VZV cukup dengan anamnesis dan pemerksaan fisis, disebabkan gejala dan manifestasi klinis cukup khas. Namun diagnosis pada fase prodromal cukup sulit karena belum muncul tanda yang khas. Beberapa diagnois diferensial diantaranya Smallpox, Rickettsialpox, dan herpes zoster. Smallpox dikatakan sudah tereliminasi namun apabila ada ancaman bioterorisme maka lesi dengan vesikel mirip chickenpox namun dengan ukuran lebih besar disertai gejala lebih berat patut dicurigai dengan Smallpox. Rickettsialpox ditandai dengan adanya Herald spot dengan manifestasi nyeri kepala yang lebih dominan. Untuk Herpes zoster yang merupakan reaktivasi akan muncl unilateral sesuai dengan dermatom terkadang muncul tanpa adanya rash.8
Pemeriksaan penunjang laboratorium dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan karena manifestasi yang tidak khas. Positif infeksi VZV jika terdapat serokonversi atau terdapat titer antibodi 4x atau lebih. Pemeriksaan DNA juga dapat dilakukan terutama bila ada kecurigaan adanya resisten terhadap acyclovir. Pemeriksaan dengan smear untuk menemukan lesi multinucleated giant cell memiliki sensitivitas yang rendah (60%). Untuk saat ini pemeriksaan yang paling sensitif adalah dengan fluoresences antibody to membran antigen (FAMA) dan ELISA. Pemeriksaan PCR DNA mengambil bahan material dari darah atau dasar lesi.1

Terapi


Tatalaksana VZV meliputi non farmakologis dan farmakologis. Terapi dapat dimulai dengan menjaga higienitas dengan baik, sering mandi untuk menjaga kelembapan kulit, dan gunting kuku. Kuku dapat menyebabkan ekskoriasi akibat gatal dan meningkatkan risiko superinfeksi bakteri sekunder. Penggunaan antipruritik dapat mengurangi gatal, disertai kompres basah yang lebih baik dalam mengatasi gatal dibanding dengan losion kering. Hindari penggunaan aspirin pada anak karena berisiko menyebabkan sindrom Reye.
Terapi farmakologis berupa pemberian acyclovir dengan dosis 800 mg 5x sehari selama 5-7 hari. Sebaiknya acyclovir diberikan kurang dari 24 jam. Pengunaan obat alternatif lainnya seperti valacyclovir 3x1 g sehari sealama 5-7 hari. Valacyclovir merupakan pro-drug dari acyclovir. Penggunaannya dengan dosis yang lebih rendah dari acyclovir bisa jadi pilihan yang memudahkan untuk kenyamanan pasien. Penggunaan alumunium asetat untuk mandi bermanfaat untuk mengurangi gejala gatal dan menimbulkan kenyamanan.3
Terapi pada kondisi khusus teutama untuk imunokompromais perlu diperhatikan beberapa hal. Pada herpes zoter terapi sama yakni dengan acyclovir atau valacyclovir karena pada prinsipnya adalah reaktivasi dan terjadi viremia. Namun pada kondisi imunokompromais yang high risk diberikan acyclovir intravena dengan dosis 10 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari. Untuk lesi di kulit akan menghilang lebih lama walaupun sudah mengalami perbaikan klinis lainnya. Pasien dengan imunokompromais yang low risk dapat menggunakan acyclovir oral. Berikut adalah bagan 2 yang menunjukkan cara kerja acyclovir dalam menterminasi elongasi DNA oleh viral DNA polymerase.9
Komplikasi zoster ke daerah mata dapat menimbulkan zoter opthalmicus dengan gejala penurunan penglihatan disertai nyeri wajah atau kepala. Dengan kondisi ini harus dirujuk ke dokter mata untuk pertimbangan diberikan analgesik dan atropin atau steroid. Post herpetic neuralgia (PHN) sulit untuk ditangani, terutama nyeri yang debilitating. Analgetik dapat diberikan sesuai dengan kadar nyeri, dengan non narkotik sampai narkotik. Obat nyeri neuropatik dapat digunakan untuk pain relief seperti gabapentin, pregabalin, dan amitriptilin. Pemberian steroid masih ada tempatnya bila tidak ada kontraindikasi, yakni dengan dosis prednison 60 mg/hari pada hari ke 1-7, dikurangi 50% pada hari 8-14 dan dikurangi lagi pada hari ke 15-21.3
Pada kondisi hamil terapi diberikan bila risiko tinggi abnormalitas kongenital. Pasien hamil diberikan intravena acyclovir tiap 8 jam. Pada pasien hamil yang positif varicella dengan onset 5 hari sebelum melahirkan atau 2 hari setelah melahirkan perlu pemberian profilaksis imunoglobulin. Skema berikut menunjukkan algoritma penatalaksanaan varicella pada kondisi imunkompromais.1

Bagan 1 Algoritma penatalaksanaa varicella pada kondisi imunokompromais

Preventif


Varicella efektif dicegah dengan pemberian vaksin. Vaksin yang digunakan merupakan virus hidup yang dilemahkan strain vOka dimana terdapat mutasi pada gen ORF 62 untuk stop kodon. Ketahanan vaksin mampu mencapai 15 tahun dengan efikasi 90%, dengan 70% bagi yang hanya sekali vaksin tanpa booster. Pada zoster pencegahan dengan vaksin efektif 61% dan pun bila menderita zoster durasi nyeri akan berkurang lebih cepat dibandingkan dengan  yang tidak pakai. Penggunaan vaksin pada zoster ini masih rendah penggunaannya dikarenakan kurang dirasakan kepentingannya. Untuk zoster tidak diperlukan adanya booster.10,11  

Bagan 2 Cara kerja acyclovir



Referensi

1.           Gershon AA, Breuer J, Cohen JI, Cohrs RJ, Michael D, Gilden D, et al. Varicella zoster virus infection. Nat Re v Dis Prim. 2017;1(1):1–41.
2.           Chisholm C. Histopathology images of Herpes zoster infection (VZV) [Internet]. Pathpedia. 2017 [cited 2018 Mar 20]. Available from: http://www.pathpedia.com/education/eatlas/histopathology/skin_and_adnexa/herpes_zoster_infection.aspx
3.           Anthony S. Fauci, Eugene Braunwald, Dennis L. Kasper, Stephen L. Hauser, Dan L. Longo, J. Larry Jameson JL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th ed. New York: McGraw Hill Professional; 2015. 279 p.
4.           Weitzman D, Shavit O, Stein M, Cohen R, Chodick G, Shalev V. A population based study of the epidemiology of Herpes Zoster and its complications. J Infect. 2013;67(5):463–9.
5.           Arvin AM, Gilden D. Fields Virology. 6. Knipe, D.; Howley, P., editors. Lippincott Williams & Wilkins; 2013.
6.           Head H, Campbell AW, Kennedy PGE. The pathology of herpes zoster and its bearing on sensory localisation. Rev Med Virol. 1997;7(3):131–43.
7.           Schmidbauer M, Budka H, Pilz P, Kurata T, Hondo R. Presence, distribution and spread of productive varicella zoster virus infection in nervous tissues. Brain. 1992;115(2):383–98.
8.           Gershon AA, Gershon MD. Pathogenesis and current approaches to control of varicella-zoster virus infections. Clin Microbiol Rev. 2013;26(4):728–43.
9.           Wallace MR, Bowler WA, Murray NB, Brodine SK, Oldfield EC. Treatment of adult varicella with oral acyclovir: a randomized, placebo-controlled trial. Ann Intern Med. 1992;117(5):358–63.
10.         Oxman MN, Levin MJ, Group SPS. Vaccination against herpes zoster and postherpetic neuralgia. J Infect Dis. 2008;197(Supplement_2):S228–36.
11.         Oxman MN, Levin Mj, Johnson GR, Schmader KE, Straus SE, Gelb LD, et al. A vaccine to prevent herpes zoster and postherpetic neuralgia in older adults. N Engl J Med. 2005;352(22):2271–84.