Obstructive Sleep Apnea


Obstructive sleep apneu (OSA) merupakan penyakit yang sering dijumpai pada pasien dengan keluhan sering mengantuk, dan bangun tidak segar walaupun sudah tidur cukup malam harinya. Pasien biasanya mempunyai komorbid lain berupa hipertensi dan obesitas. Seberapa banyak kondisi ini kita temui di masyarakat? Bagaimana tata laksana pada penyakit ini?

Prevalensi dan Faktor Risiko OSA 

Obstructive sleep apneu adalah penyakit yang dikarakteristikan dengan adanya penutupan saluran napas sehubungan dengan episode tidur, menyebabkan penurunan atau terhambatnya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia, dan bangun dari tidur. Banyak pasien yang tidak menganggap masalah OSA ini adalah masalah serius, sehingga saat kontrol tidak melaporkan keluhan tersebut. Prevalensi OSA cukup banyak, yakni 3% pada pada wanita dan 10% pada pria kelompok usia 30-49 tahun, 9% pada wanita dan 17% pada pria kelompok usia 50-70 tahun. Prevalensi OSA di Indonesia sekitar 6,3% di mana 80% menderitanya obesitas.

Berbagai faktor risiko dapat menyebabkan OSA karena dapat mengurangi ukuran rongga faring dan menyebabkan peningkatan tertutupnya saluran napas. Pada pasien dengan obesitas terjadi penumpukkan jaringan adiposa di lidah dan faring sehingga berisiko tertutup saat tertidur. Pasien lainnya yang berisiko adalah hipotiroid dan akromegali, dimana terjadinya peningkatan jaringan tonsil dan adenoid serta kelainan bentuk kraniofasial berpotensi menimbulkan OSA.

Evaluasi

Dalam mengevaluasi OSA, perlu diperhatikan  gejalanya, tingkat keparahan, penyakit komorbid, dan pencetusnya. OSA patut dicurigai bila pasien mengeluhkan sering mengantuk dan dikatakan orang lain sering mendengkur. Gejala lain yang patut dicurigai terdapat OSA dapat dilihat pada tabel berikut: Karena tidak semua OSA khas memiliki indeks massa tubuh (IMT) yang tinggi atau ada keluhan mendengkur. Oleh karena itu beberapa ahli menggunakan kuesioner khusus untuk mengevaluasi adanya OSA.

Diagnosis

Diagnosis definitif OSA harus menggunakan alat polisomnografi yang diukur saat tidur, dengan mendeteksi beberapa variabel seperti frekuensi obstruksi napas, yaitu apnea dan hipopnea. Obstruksi apnea didefinisikan bila terjadi penutupan saluran napas hampir komplit (near complete airflow obstruction >90%), selama lebih dari 10 detik saat tidur. Hipopnea didefinisikan sebagai kurangnya aliran udara >30% dan menurunnya saturasi oksihemoglobin 3% atau menyebabkan terbangun. Banyaknya apnea dan hipopnea setiap jam tidur disebut Apnea-Hipopnea Index (AHI), dan OSA adalah terjadinya AHI sebanyak 5 atau lebih per jam. Pasien dengan AHI 5-15 menunjukkan mild OSA, AHI 16-30 adalah moderate OSA, sedangkan AHI >30 menunjukkan severe OSA.

Tabel 1. Tanda dan Gejala yang Patut Dicurigai OSA


AHI dipengaruhi faktor-faktor seperti berat badan, posisi tidur, usia, alkohol, dan kondisi komorbid lain seperti pada bagan di bawah ini. AHI bervariasi jika diukur dalam beberapa hari. Pengukuran dengan waktu 1 hari saja kurang cukup, biasanya data AHI disertai dengan pengukuran durasi saturasi oksigen < 90% dan saturasi oksigen terendah. 

Pengukuran AHI dengan polisomnografi memiliki kendala karena alatnya jarang dan harganya mahal. Alat lain yang dapat digunakan adalah dengan tes home sleep apnea, yakni mengukur respiratory event index (REI), dengan menghitung frekuensi kejadian napas (apnea dan hipopnea dengan saturasi oksigen < 4%) saat periode tidur, namun tidak menghitungnya saat pasien terbangun. Kelemahan alat ini yaitu tidak cocok digunakan pada pasien yang sering terbangun, pasien muda, atau premenopause.

Kaitan dengan Penyakit Komorbid

Pada beberapa studi sebelumnya, AHI >30 berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya diabetes dan total mortalitas pada pasien usia 40-70 tahun. AHI >15 berhubungan dengan menurunnya kemampuan psikomotor 5 tahun lebih tua, dan meningkatkan risiko kecelakaan kendaraan 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. AHI >20 berhubungan dengan peningkatan risiko stroke 4 kali lipat pada laki-laki dan 2 kali lipat pada wanita. AHI >30 berhubungan dengan peningkatan risiko disritmia dan  sudden cardiac death.  

Bagan 1. Algoritma Diagnosis dan Tata Laksana OSA

Berikut adalah penyakit komorbid yang berhubungan dengan terjadinya OSA:


Pada setting pelayanan primer, polisomnografi dan tes home sleep apneu sangat jarang tersedia. Oleh karena itu dibuat kuesioner yang mudah untuk diaplikasikan, dan sudah divalidasi, khususnya pada pasien obese atau pasien yang direncanakan operasi. Kuesioner STOP-BANG dapat dilihat pada gambar berikut, dengan sensitivitas 85% dan spesifisitas 25-85%, lebih tinggi lagi pada pasien obese:


Tata Laksana OSA

Indikasi terapi OSA yakni pada pasien dengan AHI >15 per jam atau AHI 5-14 dengan kondisi komorbid. Terapi OSA berfokus pada pengurangan kejadian saat tidur, yakni AHI atau REI itu sendiri. Saat ini terapi paling efektif adalah dengan menggunakan positive airway pressure (PAP) dengan alat yang menutup hidung atau mulut (atau keduanya) agar memastikan aliran udara. Alat ini mampu mengurangi AHI sampai < 5 per jam. Alat CPAP memberikan PAP secara continues, namun penggunaan alat ini memerlukan banyak usaha dari pasien untuk memastikan posisi maskernya benar. Pasien dikatakan adherens (patuh) terhadap terapi bila minimal penggunaan PAP selama 4 jam setiap malam dan lebih dari 70% waktu tidur. Namun efek penggunaan CPAP dengan adherens yang jelek, tidak mampu menurunkan angka kejadian kardiovaskuler dalam periode 4 tahun dibandingkan dengan yang tidak menggunakan CPAP.

Untuk pasien mild-moderate OSA yang tidak dapat atau tidak ingin menggunakan CPAP, dapat menggunakan oral appliance, atau operasi faring. Dalam studi sebelumnya, CPAP lebih efektif namun adherens lebih baik pada pengguna oral appliance, namun penggunaan oral appliance jangka panjang dapat mengubah bentuk susunan gigi. Contoh CPAP dan oral appliance dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.



Untuk operasi faring seperti uvulopharyngopalatoplasty dan maxillomandibular advancement surgical procedures bermanfaat pada pasien dengan mild-moderate OSA. Kandidat idealnya yakni pada pasien non-obese dengan kelainan anatomi kraniofasial-faringeal (Gambar 3). Pilihan tata laksana bisa juga dengan hypoglossal-nerve stimulation yang merangsang otot lidah bergerak ke depan agar aliran udara lancar (Gambar 4). Efektivitas penggunaan alat tersebut memuaskan, yakni terjadi penurunan AHI menjadi < 20 per jam dan pengurangan AHI >50% pada 75% pasien OSA.

Gambar 3. Maxillomandibular Advancement Surgical procedures

 Gambar 4. Hypoglossal Nerve Stimulation

Perubahan Gaya Hidup

Direkomendasikan untuk menurunkan berat badan pada semua pasien OSA. Target penurunan lebih dari 10 kilogram mampu mengatasi keluhan mild OSA pada >50% pasien. Penggunaan obat-obatan seperti muscle relaxan atau obat golongan benzodiazepin dapat menginduksi OSA, sebaiknya dihindari atau diminimalkan.

Simpulan

OSA merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai dan menurunkan kualitas hidup penderitanya. Diagnosis dengan polisomnografi, home sleep apnea, atau penilaian risiko dengan kuesioner STOP-BANG dapat dilakukan sesuai dengan fasilitas yang ada. Tatalaksana dengan modalitas yang sesuai dengan karakteristik pasien disertai perubahan gaya hidup berupa penurunan berat badan penting dilakukan untuk pencegahan keluaran buruk dari OSA.

Referensi

Dempsey JA, Veasey SC, Morgan BJ, O’Donnell CP. Pathophysiology of sleep apnea. Physiol Rev 2010;90:47-112. 

Peppard PE, Young T, Barnet JH, Palta M, Hagen EW, Hla KM. Increased prevalence of sleep-disordered breathing in adults. Am J Epidemiol 2013;177:1006-14 

Semelka M, Wilson J, Floyd R. Diagnosis and treatment of obstructive sleep ppnea in adults. American Family Physician. 2016 Sep 1;94(5).

Suryawan P, Tirtayasa K. Hubungan antara obesitas dengan risiko menderita gangguan tidur obstructive sleep apnea (OSA) pada mahasiswa program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran udayana. Universitas Udayana.

Veasey SC, Rosen IM. Obstructive sleep apnea in adults. N Engl J Med. 2019 10;380(15):1442–9.

No comments: