Perkembangan Herbal di Indonesia


Overview

Indonesia sebagai negara tropis merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar 25.000-30.000 spesies tanaman yang merupakan 80% dari jenis tanaman di dunia dan 90% dari jenis tanaman di Asia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam cadangan plasma nuftah tanaman obat.

Sekitar 940 spesies tanaman berpotensi menjadi tanaman obat dan baru sekitar 283 spesies yang sudah digunakan oleh industri obat tradisional. Kemajuan industri herbal ini didukung oleh pemerintah melalui berbagai implementasi berbagai pelayanan kesehatan formal obat tradisional dan 40 rumah sakit di seluruh Indonesia sudah mulai memberikan layanan kesehatan obat tradisional.

Penggunaan herbal medicine ini memiliki komitmen nasional, seperti saintifikasi jamu (Permenkes No. 003 tahun 2010) dan internasional yang meliputi kesamaan pandangan negara ASEAN perlunya ‘Integration of Traditional Medicine into the National Health Care Systems’ pada ‘2nd Conference on Traditional Medicine in ASEAN Countries’ di Hanoi 2010 lalu dan dari ‘WHO Regional Meeting on Use of the Herbal Medicine’, Rangoon (2009) yang menghasilkan kesepakatan penggunaan herbal medicine di Pelayanan Kesehatan Dasar.

Kerjasama sinergis antara pemerintah dan praktisi pelayanan kesehatan di Indonesia memperoleh dukungan dari industri swasta yang juga mengkampanyekan gaya hidup sehat dengan herbal dan sekaligus membuat inovasi obat tradisional yang diproduksi secara modern yang berstandar internasional.

Perkembangan Penggunaan Jamu

Lebih dari 9000 dari sekitar 30.000 jenis tanaman obat (herbal) di Indonesia yang diketahui bermanfaat bagi kesehatan. Namun semua produk perlu saintifikasi dengan proses teknologi sehingga memudahkan konsumen. Hal ini diungkapkan oleh dr. Abidinsyah Siregar, DHSM, MKes beberapa waktu lalu di Jakarta.

Pemakaian jamu di Indonesia sesuai dengan Riskesdas 2010 mencapai angka 59,12%, pemakaian tertinggi di Kalimantan Selatan (80,71%) dan terendah di Sulawesi Utara (23,95%). Sedangkan frekuensi konsumsi jamu setiap hari mencapai 4,36% yang tertinggi di DKI Jakarta (7,75%) dan terendah di NTT (0,795).

Untuk pilihan tanaman obat yang dijadikan jamu buatan sendiri, terdiri dari temulawak (39,65%), jahe (50,36%), kencur (48,77%), meniran (48,77%), pace (11,17%) dan lainnya (72,51%). Bentuk jamu yang banyak menjadi pilihan adalah cair (55,3%), seduhan (44,1%), kapsul (11,6%) dan rebusan (20,3%). “Masih dari sumber yang sama (Riskesdas 2010), penduduk Indonesia yang merasakan manfaat ramuan tradisional yang digunakan sangat bermanfaat bagi kesehatan mencapai 95,6%,” tukas Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer Kementerian Kesehatan RI ini lebih lanjut.

Sesuai BPOM bahan baku yang telah ter standarisasi (uji pra-klinik) ada 38 dan yang terstandarisasi dengan uji klinik berjumlah 6 berupa fitofarmaka. Untuk rencana strategis 2009-2014, dr Abidinsyah melanjutkan, pencapaian target adalah 50% pusat layanan menyediakan pelayanan tradisional dan jumlah rumah sakit yang menyelenggarakan yankestrad yang aman dan bermanfaat sebagai pelayanan kesehatan alternatif dan komplementer mencapai 70. “Rumah sakit tradisional dan komplementer tahun 2011 telah mencapai 40 dengan menyediakan pengobatan herbal dan akupunktur, antara lain Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Solo, Denpasar, Maluku, dll yang telah mendapat ijin pelayanan kesehatan obat tradisional dan dokter pun dilengkapi dengan pendidikan sertifikasi praktik pelayanan obat tradisional” lanjutnya.

Daftar masalah kesehatan yang diakomodir dalam formularium obat herbal asli Indonesia adalah dislipidemia, diabetes, hipertensi, hiperurikemia, demam, sakit gigi, obesitas, anoreksia, nefrolitiasis, dispepsia, mual muntah, paliatif dan suportif kanker, suportif penyakit jantung dan pembuluh darah, gastritis, artritis, konstipasi, batuk, gastroenteritis, insomnia, penyakit kulit, hepatoprotektor, disfungsi ereksi, imunomodulator, ISPA dan hemoroid.

Strategi pengembangan dan pemanfaatan obat tradisional Indonesia meliputi tiga segmen yaitu jamu, sediaan ekstrak terstandar dan sediaan fitofarmaka. Selama tahun 2011 Sentra P3T melakukan berbagai penelitian, misalnya SP3T Sulawesi Utara meneliti ‘Pengaruh Aloe Vera terhadap Glukosa Darah Pasien DM Tipe 2’ (dr. Joudy Gessal), ‘Manfaat Kombinasi Ekstrak Temulawak, Jahe, Kedelai, dan Kulit Udang dibandingkan dengan Natrium Diklofenak pada Penyakit Osteoartritis’ (dr. Nyoman Kertia, SpPD-KR, pada SP3T DIY), dan lain-lain. Menurut Kepmenkes No. 0584 tahun 1995, Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T) merupakan wadah untuk penapisan/pengkajian/penelitian/pengujian, pendidikan/pelatihan, dan pelayanan pengobatan tradisional sebelum pelayanan tersebut diterapkan secara lain di masyarakat atau diintegrasikan ke dalam jaringan pelayanan kesehatan.

Uji pra-klinis

Selanjutnya dr. Nyoto Wardoyo, Apt menjelaskan riset yang dilakukan oleh Bagian Farmakologi Universitas Gadjah Mada, dengan cara memberikan salah satu produk unggulan dari PT Deltomed Laboratories yaitu Antangin JRG pada hewan uji (mencit dan tikus putih). Antangin JRG tersebut dalam bentuk sediaan sirup (15 ml/sachet) yang mengandung jahe, royal jelly, ekstrak panax ginseng, blumae folia, mint dan madu.

Dosis yang diberikan pada percobaan tersebut setara dengan dosis lazim pada manusia dan hasilnya menunjukkan adanya peningkatan aktivitas fagositosis makrofag, ketahanan fisik dan tidak menimbulkan gejala efek toksik. Uji pra klinis tersebut terdiri dari 4 jenis, yaitu uji toksisitas akut (14 hari), uji toksisitas subkronik (90 hari), uji imunomodulator dan uji ketahanan fisik. “Uji pra klinis tersebut juga bertujuan untuk mengkaji keamanan pemakaian jangka pendek dan panjang,” lanjut Presiden Direktur PT Deltomed Laboratories ini.



Penulis: Hardini Arivianti

Sumber artikel: Medical Tribune August 2012, page 8-9
Sumber gambar: saveherbalmedicine.com

No comments: